Ruang Pameran 1: Pohon Berjalan
Bagi pengunjung yang berkunjung sehari ke Museum Budaya Hutan, spot pertama adalah pohon berjalan, pohon berdaun besar dari jenis Moraceace, atau yang juga dikenal sebagai pohon beringin.
Semua pasti terkejut saat pertama kali melihat pohon beringin raksasa, sebatang pohon terkesan menjadi hutan. Akar yang melambai dalam udara, tumbuh cepat menjuntai ke tanah, dan sebegitu menyentuh tanah maka perlahan-lahan akan membesar menjadi sebatang akar kuat, dan akar-akar terus bertumbuh dan bercabang meluas ke berbagai arah, sehingga kerap disebut sebagai pohon yang dapat berjalan.
Ruang Pameran 2: Hutan Avatar
Usai menikmati hidangan penyambutan berupa daging panggang dan minum ramuan tradisional yang terbuat dari tebu, kunyit, jahe dan daun kayu manis, sebelum memasuki hutan pohon Ficus dan Machilus raksasa pada ketinggian menengah hingga rendah yang paling terpelihara di seluruh Taiwan, sebagai tamu yang sopan, pengunjung akan berdiri dengan hormat di depan altar yang dipenuhi dengan tengkorak babi hutan, memberi hormat kepada arwah leluhur dengan sebotol anggur beras dan sekantong buah pinang.
Jalan dengan kemiringan yang sangat curam di depan mata merupakan tantangan pertama, di mana kita harus berjalan melangkahi akar pohon yang keras bagaikan batu, dan melintas di antara cabang-cabang pohon yang kuat terjuntai dari atas ketinggian. Berikutnya adalah berjalan menyamping melewati celah langit, yang ada di antara dua bongkah batu besar yang saling bertindihan, menyaksikan lempengan Filipina yang naik dari dasar laut dan topografi pegunungan pesisir yang unik.
Melewati bongkahan batu, di tengah kelompok pohon beringin, terlihat lagi pohon beringin putih yang menjulang ke langit di depan mata. Pegang kuat tali dan gunakan tangan serta kaki secara bersamaan untuk memanjat pohon beringin putih, yang memiliki ketinggian dua lantai dan menikmati keseruan memanjat tebing.
Pelajaran 1: Etika Kehidupan
Usai menyelesaikan jalan setapak pemburu, tamu yang telah kelaparan, harus mengikuti kelas etika kehidupan terlebih dahulu.
Guru pemandu Long menegaskan, “Kami suku Bunun sangat menghormati 4 perempuan, yang pertama adalah harus mendengarkan perkataan nenek, karena nenek akan mewariskan kisah cerita dan tradisi keluarga. Yang kedua adalah harus berbakti kepada ibu, karena tidak ada seorang pun di dunia yang dapat menggantikan posisi sang ibu. Yang ketiga adalah harus mencintai istri, dan siapakah yang keempat?”. Ada yang menebak, anak perempuan. Sembari menghela nafas, Long dengan berat hati mengatakan, “Setelah menikah dan meninggalkan rumah, anak perempuan tidak akan kembali lagi. Oleh sebab itu, para senior di sini, harus menghormati menantu perempuanmu, perempuan keempat ini bukan berasal dari keluarga sendiri, melainkan putri orang lain, maka kita harus memperlakukannya dengan baik.” Untuk itu sebagai seorang pria dewasa yang baik, harus mampu dengan dibarengi senyuman di wajah memberikan pelayanan dan menghidangkan makanan bagi kaum perempuan.
Setiap orang yang berkunjung ke Museum Budaya Hutan, selain harus mempersiapkan peralatan makan sendiri, juga dilarang keras untuk membuang sampah, hal ini juga menandakan prinsip etika dan penghormatan kepada orang lain. Melalui pelayanan mengambilkan nasi, menyajikan makanan, maka kebaikan tersebut akan meresap ke dalam hati setiap insan manusia.
Pelajaran 2: Etika Lingkungan
Akhirnya tiba juga saatnya untuk mencicipi kelezatan makanan suku Bunun, daging babi yang digodok dengan anggur merah dari tumbuh-tumbuhan sejenis Lardizabalaceae, yang dapat menghasilkan warna alami tanpa perlu menambahkan kecap. Jamur Enokitake yang dibungkus dengan daun sintrong (Crassocephalum crepidioides) dan digoreng, memberikan kerenyahan tersendiri. Abai yang terbuat dari bulir milet ditambah dengan daging babi, kemudian dibungkus dengan daun khasya (Trichodesma calycosum), merupakan sajian saat ritual perayaan. Selain itu masih ada mie instan goreng dengan daun longxizhai (Gracilaria lemaneiformis), yang merupakan sajian sederhana dan kerap disantap saat bekerja di atas pegunungan. Salad plum musiman, mentimun besar dicampur dengan markisa, labu siam dan waluh, Aliman menekankan, “Hutan adalah kulkas bagi kehidupan kami orang Bunun. Setiap suap makanan yang masuk ke dalam perut adalah hadiah yang diberikan atas kemurahan hati dari tanah di bawah kaki kita.”
Berhubung Aliman bersikeras untuk tidak memasang listrik atau gas di taman, maka para staf pekerja akan mulai memotong kayu untuk membuat api pada jam 7 pagi. Setiap nasi putih yang dimasak dan sayuran yang direbus dengan api kayu, dapat menghadirkan cita rasa alam yang nyata.
Pengunjung telah menjadi saksi budaya Bunun dari rasa makanan dan pengalaman jejak pemburu. Sebelum pergi, semua orang bersama menanam sebatang pohon, saling bergandengan tangan dan menyanyikan lagu “Pasibutbut” (lagu musik ritual tradisional suku adat asli Bunun) mengiringi doa bagi pohon kecil tersebut. Suara nyanyian pun akan bergema di sekeliling hutan. Perjalanan ke museum yang dekat dengan hutan ini, akan meninggalkan kenangan yang sulit terlupakan.